Gue memasuki remaja ketika zaman Heavy Metal di gandrungi anak kuliah. Dan Thrash Metal menjadi santapan anak sekolah. Menjadi shredder adalah cita-cita sebagian besar kawan gue kala itu. Mau ngeband musti punya skill. Keinginan untuk ngeband pupus sudah. Main instrument cuma alakadarnya. Suara, pas-pasan. Yha sudahlah, tapi tiap minggu gue tetep ke gigs. Cuma jadi penonton. Head banger dan moshing lah sampai pegel. Pulangnya? Naik Metromini.
Hingga akhirnya pada suatu upacara bendera di sekolah gue (SMA 61 jakarta Timur). Gue mendapat pencerahan dari seorang kawan. Budi Ekafitri. Entah mengapa, dia tiba-tiba mengajak gue ngobrolin musik. Mungkin saat itu UUD 45 sedang di bacakan (kalo bagian ini gue lupa). Lalu dia menepuk pundak gue
Budek (julukan Budi Ekafitri saat itu): “Jim, lo lagi dengerin apa sekarang?”
Jimi: “SDI Dek” (sebuah band speed metal/thrash Jerman)
Budek: Wah udah gak keren dengerin musik metal yang melodius.
Jimi: “Emang ada gitu, band yang gak pake melody. Enak apa?”
Budek: “Beh mantep. Lo udah denger The Dehumanizers gak?”
Jimi: “Buset belom, lo ada? band apaan tuh?
Budek: “Keren pokoknya, gak pake melody. Tapi tetep kenceng!”
Jimi: “Pinjem dong!!!”
Budek: “Tukeran ye. Karena kaset gue VSP (kaset Malaysia, lebih mahal). Tuker pinjem sama dua kaset lo.”
Jimi: “Yah kaset gue photo copian semua, paling ada SDI sama Testament”
Budek: “Yha udah itu aja, gak nape”
Akhirnya setelah upacara kita janjian setelah pulang sekolah. Si Budek pun menepati janjinya untuk meminjamkan gue The Dehumanizers.
Sebuah kaset keluaran VSP (Valentine Sound Production) Malaysia. Yang sebenernya bajakan. Pada waktu itu kaset resmi Indonesia (bukan bajakan) di bandrol Rp 7000,-. Sedangkan keluaran VSP bisa Rp 14 000,- sampai Rp 20 000,-an.
The Dehumanizer / Here’s To You. Artworknya keren. Musik apa sih ini? Di kasetnya ada tulisan Thrash Metal. Tapi kok artworknya gak ada tengkorak apalagi bau darah seperti band Thrash kebanyakan. Lalu tanpa pikir panjang gue setel kaset itu di tape deck Sanyo (gue tau tape gue gembel banget jaman itu, jangan banyak cincong!) di ruang tengah gue. Buseeet.
Tiba-tiba, sesuatu terjadi…..
ANJING!!! Musiknya gampang banget! Simpel. Dan vokalisnya terdengar brengsek!!!!!!
Gue yakin ini bukan Thrash Metal. lalu gue buka sleevenya. Di lagu Here’s To Lou ada penggalan lirik yang berbunyi:
Lou I’m Mesmerized.Punk Rock. Drugs. Hair. Leather. Shining Armor. Please save me Lou. Please save me.
Saat itu juga gue punya asumsi sendiri. Pasti musik ini Punk Rock. Musiknya gampang. Liriknya sampah banget. Bertema drugs, berantem di bar, dan males-malesan, hangover nonton TV. Lalu gue ambil tas sekolah gue. Gue tulis besar-besar dengan cat Asturo: PUNK! Setelah itu gue ambil gitar akustik abang gue. Sinting! Gue berhasil ngulik lagu mereka. Yoa, Godmen dari The Dehumanizers adalah lagu pertama yang berhasil gue kulik dari kaset. Lo bayangin! Gue yang main gitarnya caur aja bisa ngulik lagu ini. Bayangkan betapa gampangnya lagu-lagu di album ini.
Lambat laun gue akhirnya tau kalau warna musik yang di usung The Dehumanizers adalah Crossover. Perkawinan silang Thrash dengan HC/Punk. Dan guepun semakin meninggalkan Thrash. Dan mulai menggilai Punk Rock. Dan mulai menjajal Sex Pistols.
Akhirnya gue mangajak dua temen sekelas gue untuk membuat band. Dengan modal rekaman dan cover photo copy kaset The Dehumanizers (aslinya udah gue balikin ke Budek) gue mengajak dua kawan gue. Tjahjo (gitar) dan Erik (drum) untuk membuat band. Gue sendiri megang bass sambil vokal. jangan tanya kualitas permainan gue. Fals atas bawah. Tapi gilanya di latihan berikut gue udah bikin lagu sendiri. Seiring berjalannya waktu, wawasan Punk Rock gue bertambah. Akhirnya band pertama gue di SMA ini gue namakan Triple Jerk. Plesetan Circle Jerk. yah namanya juga masih SMA 😛
Beberapa Tahun Kemudian
Gue sudah melanglang buana ke belasan band. Sudah lulus kuliah. Dan band gue ke 11, The Upstairs terbilang cukup sukses. Kemajuan dunia komunikasipun makin terasa. MySpace situs jejaringan sosial paling trendy saat itu. Hampir semua orang memiliki account myspace. Sekitar tahun 2007 gue baru saja mulai siaran di Trax FM. Siaran pagi bareng Buluk Superglad dari jam 6-jam 10 siang. Ritual pagi. Bikin teh manis hangat. Opening siaran. Sambil nyetel lagu biasanya gue buka Myspace. Lalu gue buka inbox,…coba gue lihat….gak salah nih. Lalu gue kucek-kucek mata gue. GILA! gue dapet message dari David Ulysses Portnow!!! Anjiiing!!! Lalu gue panggil Buluk.
Gue: “Luk! Lokit gue dapet message dari siokap!!!”
Buluk: “Hah? Siapa emang? David Ulysses Portnow? Kayaknya gue tau dah”
Gue: “”Ini pruducernya The Dehumanizer!!!”
Buluk: “The Dehumanizerz!!! Ngentooootttt!!!!
Lalu gue sama Buluk tertawa terbahak-bahak. Dan langsungs joget-joget gembel. Terbayang andaikata messege ini gue terima pas SMA pasti gue langsung pingsan.
Sayangnya message asli dari David gak bisa gue akses. Gue lupa password Myspace gue. Intinya David Ulysses Portnow browsing semua MySpace yang mencantumkan The Dehumanizers sebagai influence. Lalu mengajak kita untuk ikutan dalam kompilasi tribute to The Dehumanizers. Waaaahhhh tawaran yang menarik. dari tahun 2007. Akhirnya baru tahun 2010 kompilasi itu release. The Upstairs, Antiseptic, Trauma, dan Citizen Useless adalah band Indonesia yang sempat terlibat di kompilasi ini.
Setelah album ini release, gue agak sedikit geli sih baca judulnya: Retro As Hell!! Yeah gimana yah haha. The Upstairs sukses meremake Sing Thru Me di sana. Dan lucunya band-band Indonesia cukup serius dan terdengar lebih keren dari band-band lain yang ada di kompilasi ini.
Tapi hubungan gue dengan David Ulysses memang ajaib. Gue sering berkirim message ke dia. Bertukar cerita. Dari cerita David akhirnya gue tau, kalo The Dehumanizers adalah band Seattle. Ketika Thrash Metal di ambang ke jayaannya. Dan Seattle Sound/Grunge belum merebak. Dan band ini pun sebenernya belum pernah bermain di panggung besar sekelas arena. Dan sebagai tanda seriusnya dia mengajak kita ikutan kompilasi. Dia mengirimkan gue 5 cd The Dehumanizer anthology. Sebelum kompliasi di garap. Asu iki friend…rare 😀
The Dehumanizers / The First 5 years of Drugs Use. Di album ini mereka memixing ulang lagu-lagu lama mereka. Walaupun hasilnya gak se antik versi pertama. Tapi karena CD ini di kirim langsung oleh The Dehumanizers, maka akhirnya album ini menjadi tak ternilai harganya.
Dari 5 CD yang gue dapat. Satu gue simpan. Satu gue kasih ke Buluk. Satu ke Arian 13 (dengan catatan barter dengan kaset versi VSP), Satu gue kasih Wenz Rawk, dan satunya lagi gue kasih ke Budek. Nah perjalanan ngasih ke Budek inilah yang sangat memorable. Kebetulan tahun 2009 gue bersama The Upstairs dapet job maen di Malaysia. Dan gue denger khabar Budek sudah tinggal dan menikah dengan Gadis sana. Setelah selesai manggung, gue cari Budek dan langsung gue serahin CD ini
Budek (Budi Eka Fitri) hanya tertawa-tawa mendengar cerita gue ketika upacara bendera puluhan tahun silam. Dia sendiri sudah lupa akan momment itu. Apalagi setelah dia mendengar gue mendapat langsung CD ini dari The Dehumanizers, semakin meledaklah tawa dia. Bahkan diapun heran melihat gue akhirnya membuat sebuah band. Sore itu di Malaysia kita banyak bercerita zaman putih abu-abu. Thrash Metal sampai cewe-cewe favorit di sekolah.
Sampai sekarang walaupun sedikit orang yang tau The Dehumanizers. Gue tetap menganggap mereka sebagai salah satu inspirasi gue. Walaupun semakin gue kenal dengan David Ulysses gue semakin tau betapa kecil dan underatednya mereka. Pandangan gue gak juga berubah.
Bener Friend. Gara-gara dengerin The Dehumanizers akhirnya gue berani bikin musik sendiri. The Dehumanizers tidak menginfluence gue secara musikal. Tapi pola pikir bermusik. Gue jadi yakin dengan kemampuan gue yang minimal, gue bisa menghasilkan hal yang maksimal.
The Dehumanizers adalah band yang bikin gue nge band sampai saat ini…bahkan nanti.
Booking Contact: 0815 89 86 915
Morfem CD, buy online at demajors.com
Official Blog: http://morfemband.wordpress.com/
Twitter: @morfem_band
Morfem Use:
Radix Guitars
Crooz Apparel
Morfem 2nd album recorded at: ALMOS a small recording studio at jl. kalibata timur I no 30 jakarta. Follow: @Almosstudio
MORFEM DATANG SEMUA SENANG