Idola

Apa sih sebenernya idola itu? Makhluk apa sih sebenernya mereka? Teori gembelnya idola biasanya terpampang di tiap kamar remaja. Di elu elukan. Di puja puji. Bahkan gilanya sampai diikuti. Gue sendiri pernah seperti itu. Mengidolakan musisi sampai setengah mati. Terjadi waktu jaman kanak-kanak gue. Bagaimana kamar gue di penuhi poster Michael Jackson. Lalu berubah menjadi Duran-duran, wah tambah meriah. Ketika mulai ingin nampak sangar, gue pun mengganti suasana dengan gambar gambar Eddie Van Halen dengan gitar striping merah putih berantakannya. Kurang bengis nih lama-lama. Tambah umur beda pula posternya, Motley Crue! Yeah.

Tapi ketika mulai masuk usia remaja hal itu memudar. Dinding kamar gue mulai kosong dari poster-poster. Abang-abang gue mulai jarang beliin kaset. Dan kondisi kantong saat itu mulai membuat gue memilih. Antara mendapatkan rekaman atau merchendise mereka yang harganya Naujubillahminjalik itu buat kantong gue. Tentu pilihan gue jatuh pada hal pertama. Tembok kamar gue mulai diisi dengan gambar-gambar yang gue buat untuk menunjukkan ego gue. Memasuki usia 18, karya karya para idola akhirnya lebih merasuki gue dibandingi imaji-imaji mereka. Sebutlah Dodo Zakaria dengan album Malisanya. Fariz RM dengan Symphonynya, Lou Reed dengan New Yorknya, Metallica dengan And Justice for Allnya hingga Ebiet G Ade dengan Lolongnya.

Ketika gue sedang upacara bendera di sekolah, seorang kawan menawarkan album The Dehumanizers pada gue. Setelah mendengarkan album mereka gue lantas berfikir. Kemampuan mereka yang minim saja bisa menghasilkan album seperti ini. Kenapa gue gak bisa. Dan mulailah gue menciptakan musik dengan sekemampuan gue. Mulailah gue menulis lirik. Terus gue berkarya, berkarya dan berkarya lagi. Pada awalnya reaksi orang-orang di sekitar gue kebanyakan negative. Selalu ada pembenaran-pembenaran dari mereka agar gue berhenti berkarya. Kegagalan demi kegagalan gak menyurutkan, gue gak peduli. Selama gue menghasilkan karya bathin gue terpuaskan. Gue di tersituasi orgasmus maksimus.

Dua belas tahun kemudian barulah karya gue di toleh masyarakat. Dan empat tahun kemudian gue disapa oleh idola gue di Situs persahabatan Myspace. Yoi, benar sekali. Enam belas tahun setelah gue dapatkan album mereka pada upacara bendera, pada suatu pagi The Dehumanizer menyapa gue di sana. Andaikata hal ini terjadi dikala gue bersuaia 18, pasti langsung pingsan gue saat itu juga. Singkat kata, kita pun akhirnya bersahabat. The Upstairs pun mendapatkan izin untuk meremake lagu mereka yang biasa gue mainkan ketika remaja. Terlibat dalam album tribute mereka. Dan mereka tercengang mendengar hasil rombakan kami. Waduh bangganya bukan main-main. Lalu di lain waktu gue berhasil bertemu dengan Dodo Zakaria. Walaupun kita tak sempat berbincang. Karena gue cuma berhasil bertemu dengan jasad beliau sebelum di makamkan. Untungnya gue juga diberi kesempatan untuk menulis Ebiet G ade dan akhirnya gue dapat bercakap langsung dengannya. Lalu pada suatu sore, gue dapat bercakap-cakap dengan seru dengan Fariz RM. Masih belum habis takjub gue, ketika tau beliau juga mendengarkan album The Upstairs. Banyak sekali hal yang meresap di kepala, pada tiap mommentnya. Luar biasa.

Para idola tadi telah berkontribusi pada sikap berkarya gue. Tanpa harus menjadi mereka, gue berkarya. Untuk menjadi diri sendiri. Ketika karya gue mulai di apresiasi masyarakat akhirnya gue dapat kesempatan duduk di tempat yang sama. Bercakap-cakap hingga percakapan itu membuat gue merasuk lebih dalam kepada karya-karya mereka. Dan mereka tetep gue posisikan sebagai idola sampai saat ini.

Tulisan di muat pada Trax Magazine edisi Desember 2008


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

© Jimi Multhazam 2024 by Devision