Ebiet adalah Goth! Itulah impresi pertama yang timbul sewaktu mendengar intro Camelia I. Waktu itu usia masih sangat kecil dan belum lancar membaca. Dan saya lari tunggang langgang mendengar intro lagu tersebut. Namun ketika Ebiet mulai bernyanyi, barulah saya mulai memberanikan diri mendekat pada tape deck Akai di ruang keluarga. Dan mendengarkan album Camelia I lagu demi lagu. Kakak perempuan tertua saya lah yang bertanggung jawab memperdengarkan Ebiet pada saya untuk pertama kalinya. Memang Ebiet G Ade dan Bimbo adalah soundtrack masa-masa pertumbuhan saya di rumah. Pada saat itu Ebiet sekedar penyanyi pop yang kondang belaka buat saya. Tanpa harus memutar abumnya, otomatis saya akan mendengarkan lagu-lagunya di rumah. Lagu Untuk Sebuah Nama hampir lazim terdengar di setiap tongkrongan remaja yang menghabiskan malam sambil bermain gitar. Dan di setiap gitar mereka sering terlihat stiker yang ngetop pada zaman itu tertempel. Sebuah sticker urban yang melambangkan betapa identiknya Ebiet dengan gitar akustik. Sticker yang bertuliskan “Gitar milik Pribadi, Ebiet minjem aja gak gue kasih.”
Seiring bertambah tingginya badan, musik yang yang saya dengar bertambah banyak, dan selera pun ikutan berubah. Namun Ebiet G Ade sepertinya tak mau melepaskan saya begitu saja. Ketika celana pendek saya berubah menjadi biru, bernyanyi di depan kelas adalah neraka bagi saya. Dan saya masih saja berkutat dengan lagu Garuda Pancasila. Saya ambil jalur aman, agar bisa duduk lagi di bangku dengan cepat. Namun ketika saya duduk, dan absent berikut di panggil. Kawan sekelas saya berjalan dengan penuh percaya diri. Sesampainya di depan kelas dia membisikkan sesuatu ke guru saya. Sepertinya menyebutkan judul. Hmmm. Kelas hening. Lalu tampak dia memejamkan mata. Dan mulai bernyanyi. Kabut…sengajakah engkau mewakili pikiranku…Saya pun terperanjat. Ebiet Nih. Lalu ketika dia menyanyikan bagian Roda jaman menggilas kita terseret tertatih-tatih. Sungguh hidup terus diburu berpacu dengan waktu Tak ada yang dapat menolong selain yang di sana. Tak ada yang dapat membantu selain yang di sanaaaaa…. Sontak semua anak-anak sekelas bertepuk tangan.Waduh kok saya terharu yah. Saya bergumam sambil bertepuk tangan keras. Canggih banget dia bisa nyanyi Menjaring Matahari depan kelas. Kepala saya terus menoleh mengiringi dia berjalan menuju bangkunya.
Beberapa tahun kemudian dan karena sesuatu hal, saya harus bermalam di rumah kerabat saya. Gila! Suasana rumah yang sepi hiburan. Hanya ada tape di kamar dan beberapa kaset pop cengeng dengan art work norak. Tetapi, hey! saya menemukan sesuatu. Diantara kaset-kaset kancut tadi, terselip satu kaset lusuh jaman dahulu. Ebiet G Ade, Camelia III. Akhirnya kaset inilah satu-satunya pilihan untuk menyelamatkan hidup saya pada malam itu. Padahal saat itu lagu-lagu di album ini pun sudah tidak lagi masuk chart di radio-radio lokal. Dan saya sedang tidak sabar-sabarnya ingin segera lulus SMA. Agar bisa memanjangkan rambut seperti Mille Petrozza. Apa daya, keadaan akhirnya membuat saya menyerap semua isi album. Dari komposisi musik, suara Ebiet, liriknya, hingga art work covernya. Perlahan menyerap dari telinga, mata, bahkan menaikkan bulu remang segala.Tiba pada track Lolong, frekwensi selera dan tape compo seperti menyatu. Tangan saya pun tak henti-hentinya menyiksa compo butut itu untuk merewind lagu tersebutlagi dan sekali lagi. Dan Lolong menjadi titik balik kembalinya saya kepada album-album lama Ebiet G Ade. Sejak malam itu Ebiet G Ade bukan lagi sekedar penyanyi pop belaka buat saya. Hingga kini namanya telah sejajar dengan Lou Reed, Bob Dylan, dan Iggy Pop dalam benak saya.
Ketika mendengarkan kembali album Camelia I, saya tercengang. Gila. Ternyata sejak kecil saya terbiasa mendengarkan album sehebat ini. Puisi dan lagu Ebiet bertambah dasyat dengan kemasan musik Billy J Budiarjo. Lelaki Ilham Dari Surga adalah nomor terbaik di album ini. Lagu yang bernuansa religius. Dengan lirik genius. Dalam suasana-suasana tertentu lagu ini dapat membuat saya terharu mendalam. Untuk yang bernuansa cinta Episode Cinta yang Hilang adalah pilihan saya. Billy J Budiarjo bermain gitar dengan apik di sana. Kapankah akan kudengar lagi nyanyian angin dan denting gitar mu, langsung di sambut oleh dengan sekelebatan gitar. Itu adalah sebagian kecil part yang menggoda. Walau tak di pungkiri, Lagu Untuk Sebuah Nama adalah pembenaran ketika kita jadi pecundang. Dan Camelia, waaah Dodo Zakaria membuat lagu ini jadi semakin megah. Ketika kecil saya tidak merasakan semuanya sejauh ini. Yah, lebih baik terlambat menyadarinya dari pada tidak sama sekali.
Ketika mulai coba-coba bermain musik. Saya pun tergelitik untuk mulai menulis lirik. Dan mendengar ulang lagu-lagu Ebiet adalah salah satu ritual yang harus di jalani. Album yang di garap bersama Billy J Budiarjo adalah yang paling tepat. Camelia I,II,III,IV,Langkah Berikutnya,Tokoh Tokoh, dan 1984, adalah album-album pilihannya. Bukan untuk mengadaptasi lirik apalagi musiknya. Tetapi pemilihan kata-kata pada tiap puisi Ebiet G Ade memicu saya untuk kembali menoleh pada bahasa Indonesia. Banyak kata-kata dalam bahasa Indonesia yang terlupakan. Dan Ebiet adalah salah satu yang berhasil merangkainya dengan sopan.
Sayangnya, sulit untuk mendapatkan album-album klasik Ebiet G Ade sekarang ini. Tidak kita temukan remaster CD di pasaran. Hanya sekedar kompilasi-kompilasi yang berisi pecahan lagu hits tanpa ada keterangan musisi pengiringnya. Tahun pembuatan. Dan sayangnya lagi dengan art work cover seadanya. Andai album klasik Ebiet G Ade mudah di dapat, semudah mendapatkan Led Zeppelin. Mungkin saja musik Indonesia bisa berubah. Yakin? Ahh tidak usah diambil hati. Ini sekedar teori gembel penggemar belaka.
Sebenarnya apa yang saya tulis ini adalah sebagian kecil cerita yang ingin saya sampaikan pada Ebet G Ade. Ketika tanpa sengaja saya bertemu dia dikala datang melawat mendiang Dodo Zakaria. Namun ketika berhasil mendekatinya, saya kehilangan perbendaharaan kata. Bahkan judul lagu Lolong saja sampai lupa. Perasaan saya persis sama ketika harus bernyanyi di depan kelas ketika kecil. Dan kawan-kawan yang hadir malam itu tak habis-habisnya mentertawakan saya di hari-hari berikutnya. Mereka tidak tahu. Kalau dulu saya sering berkhayal. Andai saya memiliki kemapuan seperti Ebiet, dan bertemu kawan-kawan seperti Devo. Mungkin saya bisa memulai band yang ajaib. Du du du du du du du du du du du du…
JM
Tuisan di muat dalam majalah Rollingstone Indonesia edisi Immortal 2008